Jakarta, Persidangan lanjutan perkara nomor 212/G/2025/PTUN.JKT yang digelar pada Selasa, 30 September 2025, kembali mengungkap kelemahan fundamental dari posisi hukum Penggugat. Dalam sidang yang dipimpin oleh Majelis Hakim yang beranggotakan Ridwan Akhir, SH., MH., sebagai Ketua Majelis, Gugum Surya Gumilar, SH., MH sebagai Hakim Anggota 1, dan Haristov Aszadha, SH sebagai Hakim Anggota 2 ini, dengan Panitera Pengganti Tri Bhakti Adi, SH., MH., pihak Penggugat Rudy Dermawan Muliadi dan Suwandi Sutikno yang diwakili oleh Kuasa Hukum mereka, Hendi Sucahyo Supadiono, SH., dan Josephine Levina Pietra, SH., MKn., menghadirkan seorang ahli bernama Henry Darmawan Hutagaol, SH., LLM.
Namun, keterangan yang diberikan oleh ahli tersebut justru mengungkap sejumlah kelemahan fatal, ketidakkonsistenan, dan ketiadaan kompetensi spesifik untuk menangani kompleksitas perkara administrasi badan hukum seperti yang dialami oleh DPP APKOMINDO.
Soegiharto Santoso, selaku Ketua Umum DPP APKOMINDO yang sah sebagai Tergugat II Intervensi, secara tegas menyoroti ketidakmampuan ahli tersebut dalam memberikan keterangan yang relevan dan mendalam.
Hoky (sapaan akrab Soegiharto) yang juga menjabat sebagai Sekjen Perkumpulan Advokat Teknologi Informasi Indonesia (PERATIN), juga melampirkan bukti rekaman keterangan ahli dalam persidangan di bawah sumpah agar menjadi fakta persidangan yang nyata tentang ahli yang tidak kompeten, inkonsisten, dan gagal memberikan dasar hukum yang kuat bagi gugatan Penggugat, bahkan berbahaya karena menyatakan “kalau ada undang-undang pun, bisa dikesampingkan dengan putusan pengadilan”. Rekaman lengkap dapat diakses di: https://soundcloud.com/soegiharto-santoso/2025-09-30-suara-rekaman-ahli
Keterbatasan Kompetensi dan Penolakan untuk Menjawab Pertanyaan Krusial
Sepanjang proses pemeriksaan ahli, Henry Darmawan Hutagaol berulang kali menunjukkan ketidaksiapannya. Ketika ditanya mengenai hal-hal teknis dan prosedural yang menjadi inti perkara, ia seringkali menjawab dengan pernyataan seperti, “Saya tidak menguasainya,” “Itu sudah terlalu teknis,” atau bahkan secara terang-terangan menolak menjawab dengan mengatakan, “Saya enggak mau, dari pada salah.”
Beberapa momen krusial yang menandai ketidakkompetenan ahli ini antara lain: Saat ditanya tentang tata cara penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas) yang sah, termasuk pemanggilan, daftar hadir, dan kuorum, ahli mengaku tidak tahu tata cara tersebut.
Ketika diminta menjelaskan proses administratif perolehan SK dari Kementerian Hukum dan HAM, ahli menyatakan bahwa hal itu adalah domain notaris dan ia tidak memahami detailnya.
Pertanyaan mendasar tentang kelayakan suatu perubahan pengurus jika akta yang dilampirkan tidak mencantumkan nama-nama pengurus baru sama sekali, dijawab dengan diam dan penolakan. Padahal, jawabannya seharusnya sangat jelas bagi seorang ahli administrasi yaitu: tidak mungkin.
“Pertanyaannya sederhana dan logis. Bagaimana mungkin seorang pejabat TUN dapat mengesahkan perubahan pengurus jika dokumen akta yang menjadi dasar permohonan tidak menyebutkan sama sekali nama-nama pengurus yang berubah? Ini adalah hal mendasar dalam administrasi. Penolakan ahli untuk menjawab justru membuktikan bahwa posisi hukum kami kuat dan tidak terbantahkan,” tegas Hoky.
Inkonsistensi dan Kekeliruan Prinsip Hukum
Di satu sisi, ahli bersikukuh bahwa seorang pejabat Tata Usaha Negara (TUN) wajib mempertimbangkan dan tunduk pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), bahkan hingga menyampingkan peraturan perundang-undangan.
Pernyataan ini, seperti yang disampaikan pada persidangan di bawah sumpah bahwa “putusan pengadilan itu, bahkan kalau ada undang-undang pun, bisa dikesampingkan dengan putusan pengadilan,” dinilai keterangan ahli sangat keliru dan berbahaya.
Sanggahan terhadap pernyataan keliru ahli ini adalah: Asas Inter Partes: Putusan pengadilan perdata hanya mengikat para pihak yang berperkara (inter partes), tidak serta merta mengikat pejabat TUN yang tidak menjadi pihak dalam perkara perdata tersebut.
Tidak Dapat Mengesampingkan Undang-Undang: Seorang pejabat TUN bertugas melaksanakan peraturan perundang-undangan. Putusan pengadilan perdata tidak memiliki kewenangan untuk menyampingkan atau membatalkan ketentuan undang-undang yang menjadi dasar kerja pejabat tersebut.
Batas Temporal Putusan dan Fundamental Gugatan yang Cacat: Putusan pengadilan memiliki batas temporal yang jelas. Amar putusan untuk periode 2015-2020 tidak memiliki kekuatan hukum untuk membekukan kehidupan organisasi pada periode berikutnya (pasca-2020).
Lebih fundamental lagi, gugatan tersebut diduga kuat dibangun di atas dasar dokumen yang tidak autentik. Fakta di lapangan membuktikan bahwa klaim Rudy Dermawan Muliadi sebagai Ketua Umum, Faaz Ismail sebagai Sekjen, dan Adnan sebagai Bendahara sama sekali tidak memiliki bukti otentik. Dalam MUNASLUB 2 Februari 2015, nama-nama tersebut tidak tercatat sebagai pengurus terpilih, tidak terdapat foto dokumentasi, tidak ada pemberitaan, dan yang paling krusial tidak ada akta notaris yang mengukuhkan klaim tersebut.
Penggunaan dokumen yang diduga palsu ini tidak hanya meruntuhkan kredibilitas gugatan, tetapi juga dapat menjerat para pelakunya dalam unsur pidana.
Oleh karena itu, mustahil bagi organisasi yang sehat seperti APKOMINDO untuk menghentikan dinamikanya berdasarkan putusan yang bersumber dari dokumen yang diragukan keasliannya. Menjalankan Munas sesuai jadwal adalah hak dan kewajiban organisasi berdasarkan AD/ART.
Hoky menegaskan, “Sebelum putusan perkara nomor 633/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Sel. di PN JakSel yang diduga kuat menggunakan dokumen palsu untuk periode 2015-2020, bahkan sebelum berkekuatan hukum tetap, APKOMINDO sebagai organisasi yang sehat telah menyelenggarakan Munas berikutnya sesuai jadwal normal dalam AD/ART.
Kami telah memilih pengurus baru, membuat akta notaris, dan mendaftarkannya ke Kemenkumham. Proses ini sah dan berjalan normal. Apakah logis jika sebuah organisasi harus berhenti hanya karena ada sengketa untuk periode masa lalu? Ahli ini gagal paham terhadap dinamika dan kontinuitas kehidupan berorganisasi.”
Hoky juga mengangkat isu fundamental tentang penyalahgunaan proses hukum yang dilakukan oleh Penggugat. Dalam persidangan, ia menanyakan apakah gugatan terhadap SK terbaru dapat diterima, mengingat substansi sengketa yang sama mengenai SK KUMHAM kepengurusan APKOMINDO telah pernah digugat di PTUN, lanjut banding di PT TUN, kemudian Kasasi di MA sehingga sebelumnya telah inkracht.
Majelis Hakim kemudian membantu menguraikan contoh pertanyaan ini: “Jadi ini awalnya SK A terjadi perubahan menjadi SK B, lalu menjadi SK C, akhirnya timbul SK D, awalnya SK A telah digugat di PTUN dan telah inkracht, lalu saat ini SK D yang digugat di PTUN, apakah masuk Ne Bis In Idem?”
Ahli menjawab “tidak” dengan alasan objek gugat (SK-nya) berbeda. Namun, argumentasi ini mengabaikan esensi sengketa.
Substansi Identik: SK A, B, C, dan D adalah mata rantai dari satu sengketa pokok yang sama: pengakuan kepengurusan sah APKOMINDO. Perubahan nomor dan tanggal SK hanyalah konsekuensi administratif dari kontinuitas organisasi.
Mencegah Litigasi Abadi: Menerima gugatan terhadap setiap SK baru yang diterbitkan akan menciptakan “litigasi abadi.” Setiap kali organisasi memperbarui SK-nya secara normal, pihak yang kalah dapat menggugat kembali, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum tanpa ujung. Hal ini jelas bertentangan dengan asas kepastian hukum yang justru diklaim oleh ahli.
Penyalahgunaan Proses Peradilan: Pola gugatan seperti ini merupakan bentuk nyata dari penyalahgunaan proses peradilan (abuse of process) untuk mempertahankan klaim yang sebenarnya telah diputus oleh pengadilan, sehingga melakukan gugatan terus menerus.
“Pertanyaan tentang Ne Bis In Idem ini adalah jantung dari perlawanan kami. Ini bukan lagi tentang siapa yang benar, tetapi tentang bagaimana menjaga marwah peradilan dari upaya penghancuran melalui gugatan berulang yang substansinya sama. Masyarakat akan paham, betapa tidak adilnya jika seseorang boleh menggugat terus-menerus hanya karena nomor SK-nya berubah, karena telah ada Munas untuk periode masa bakti yang telah berakhir,” papar Hoky.
Keterangan ahli yang dihadirkan oleh Penggugat justru menjadi bumerang. Alih-alih menguatkan posisi Penggugat, ia telah membongkar kelemahan fundamental gugatan: ketiadaan dasar hukum yang kuat, ketidaktahuan terhadap proses teknis, dan pengabaian terhadap prinsip ne bis in idem serta kontinuitas organisasi.
Berdasarkan uraian di atas, masyarakat diharapkan dapat memahami bahwa: Proses administrasi yang dijalankan oleh DPP APKOMINDO di bawah pimpinan Hoky adalah sah, transparan, dan sesuai dengan AD/ART serta peraturan perundang-undangan.
Keterangan ahli Henry Darmawan Hutagaol tidak kompeten, inkonsisten, dan gagal memberikan dasar hukum yang kuat bagi gugatan Penggugat.
Gugatan ini merupakan bagian dari upaya sistematis untuk menciptakan litigasi abadi dan mengganggu stabilitas organisasi APKOMINDO, yang sudah sepatutnya ditolak oleh Majelis Hakim.
“Kami percaya dan berharap sepenuhnya kepada kebijaksanaan dan kearifan Majelis Hakim yang terhormat untuk memutus perkara ini dengan bijak. Penolakan terhadap gugatan ini bukan hanya kemenangan bagi APKOMINDO, tetapi juga kemenangan bagi kepastian hukum, keadilan, dan etika berorganisasi di Indonesia. Masyarakat akan sepakat bahwa pengadilan harus menjadi tempat terakhir mencari keadilan, bukan alat untuk melanggengkan sengketa,” tutup Hoky.


